TULUNGAGUNG Dhani Antara Spirit Baru. - Banyak pemilik warung kopi (warkop) di Tulungagung yang enggan menggunakan kompor LPG. Mereka memilih tetap menggunakan kompor sumbu, namun bahan bakarnya bukan minyak tanah, melainkan solar.
Menurut Lilik, pemilik warkop Desa/Kauman, sejak program konversi minyak ke gas, dirinya terus bertahan menggunakan minyak tanah. Sebab Lilik khawartir, warungnya yang hanya berukuran 3 x 4 meter di Pasar Kauman meledak. Namun saat harga menyak tanah tembus Rp 10.000 perliter, Lilik mulai mencoba mengisi kompor sumbunya dengan solar. "Awalnya hanya coba-boba saja menggunakan solar, dan ternyata bisa nyala seperti biasa.
Dari sekedar coba-coba tersebut, ternyata solar jauh lebih irit. Dengan harga RP 4.500 perliter, Lilik hanya butuh Rp 20 ribu untuk menyalakan kompor dari pukul 04.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Sementara dengan 6 liter minyak tanah, dua kompornya hanya sanggup menyala hanya sampai pukul 14.00 WIB. "Kalau dibandingkan, solar jauh lebih murah dibanding minyak tanah. Akhirnya sudah setahun ini saya gunakan solar," tambahnya.
Keunggulan solar lainnya, ternyata nyalanya tidak menimbulkan bau, sehingga kualitas kopinya kian bagus. Namun solar mempunyai kelemahan, membuat kompor mudah kotor. Hampir dua hari sekali, Lilik harus membersihkan dua kompornya dari kerak sisa pembakaran. "Kompor jadi mudah kotor dengan kerak hitam sisa pembakaran. Makanya harus rutin dibersihkan," ujarnya.
Dengan menggunakan solar, Lilik tetap bisa menyalakan kompor dan menekan biaya produksi setiap hari. Sementara dari sisi keamanan, Lilik tidak khawatir terjadi ledakan.@Rprt.Dhani Arza
Menurut Lilik, pemilik warkop Desa/Kauman, sejak program konversi minyak ke gas, dirinya terus bertahan menggunakan minyak tanah. Sebab Lilik khawartir, warungnya yang hanya berukuran 3 x 4 meter di Pasar Kauman meledak. Namun saat harga menyak tanah tembus Rp 10.000 perliter, Lilik mulai mencoba mengisi kompor sumbunya dengan solar. "Awalnya hanya coba-boba saja menggunakan solar, dan ternyata bisa nyala seperti biasa.
Dari sekedar coba-coba tersebut, ternyata solar jauh lebih irit. Dengan harga RP 4.500 perliter, Lilik hanya butuh Rp 20 ribu untuk menyalakan kompor dari pukul 04.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Sementara dengan 6 liter minyak tanah, dua kompornya hanya sanggup menyala hanya sampai pukul 14.00 WIB. "Kalau dibandingkan, solar jauh lebih murah dibanding minyak tanah. Akhirnya sudah setahun ini saya gunakan solar," tambahnya.
Keunggulan solar lainnya, ternyata nyalanya tidak menimbulkan bau, sehingga kualitas kopinya kian bagus. Namun solar mempunyai kelemahan, membuat kompor mudah kotor. Hampir dua hari sekali, Lilik harus membersihkan dua kompornya dari kerak sisa pembakaran. "Kompor jadi mudah kotor dengan kerak hitam sisa pembakaran. Makanya harus rutin dibersihkan," ujarnya.
Dengan menggunakan solar, Lilik tetap bisa menyalakan kompor dan menekan biaya produksi setiap hari. Sementara dari sisi keamanan, Lilik tidak khawatir terjadi ledakan.@Rprt.Dhani Arza
0 komentar:
Posting Komentar